This my Country

I always love Indonesian Country

My adventure

Singapore and malaysia is amazing

My hobbies

Every morning on sunday

I love my culture

One culture of madura that I love

Singapore

The One country that I like

Pages

Senin, 07 Januari 2013

Kesejahteraan Gender



A.      Sejalan dengan modernisasi yang dikenalkan pihak koloneal balanda, pada awal abad ke-20 saat itu kesadaran baru bagi kalangan muslim Indonesia mulai muncul  yangbanyak diilhami gagasan dan semangat kemajuan bagi kaum perempuan.
Dalam hal ini yang sangat penting adalah, bahwa kartini merepresentasikan kebangkitan satu kesadaran baru yang tengah berkembang dikalangan bangsa indonesia, dimana kemajuan menjadi satu wacana sosial dan intelektual yang dominan. Surat-surat Kartini yang kemudian diterbitkan sebagai penghargaan atas cita-citanya untuk kemajuan kaum perempuan.[1]dengan tegas hal ini merefleksiakan pemikiran yang berkembang secara umum saat itu. 
            Pada abad ke 20 itu juga merupakan satu periode penting dalam sejarah Indonesia, termasuk dalam hal ini gerakan perempuan mulai muncul yang semata-mata menginginkan kesetaraan serta menghendaki  dibukanya pintu bagi kaum perempuan memasuki alam kemajuan.
Beberapa peran yang tampak sangat merugikan perempuan saat itu mulai ditinggalkan, misalnya peran “Agama”,  dalam hal ini penafsian islam tradisional yang diyakini sangat berperan menghambat kemajuan bagi perempuan.  hingga kemudian perempuan mulai bisa berpindah peran dari ranah domistik keranah publik.
Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan dalam menangani nasib kesejahteraan perempuan: antara lain harapan hidup, dimana perempuan harus mempunyai hasrat yang kuat serta cita-cita untuk terciptanya kemajuan. Dalam hal ini adanya tekhnologi serta pendidikan moralitas dan yang berkualitas merupakan faktor yang sangat mungkin menjadi pendukung  untuk dapat merealisasikannya. 
Kemudian indikator yang kedua yaitu bagaimna angka kematian dari setiap wanita selama masa kehamilan dapat ditangani dengan serius, Data organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun sejumlah 500 orang perempuan meninggal dunia akibat kehamilan dan persalinan, fakta ini mendekati terjadinya satu kematian setiap menit. Diperkirakan 99% kematian tersebut terjadi di negara-negara berkembang (WHO,2007).
Indikator yang ketiga adalah adanya upaya bagaimana kematian bayi juga dapat ditangani dengan semaksimlakan mungkin,   dan di Indonesia sendiri terdapat bebrapa upaya yang sudah dilakukan sebagai upaya untuk menanggulangi angka kematian ini.
Antara lain melalui penempatan bidan di desa, pemberdayaan keluarga dan masyarakat dengan menggunakan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) dan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), serta penyediaan fasilitas kesehatan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di Puskesmas perawatan dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) di rumah sakit. Dan upaya terobosan yang paling mutakhir adalah program Jampersal (Jaminan Persalinan) yang digulirkan sejak 2011 oleh Kementerian kesehatan republik indonesia.
Data organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun sejumlah 500 orang perempuan meninggal dunia akibat kehamilan dan persalinan, fakta ini mendekati terjadinya satu kematian setiap menit. Diperkirakan 99% kematian tersebut terjadi di negara-negara berkembang (WHO,2007).[2]
Selanjutnya  indikator keempat adalah meningkatkan pendidikan keaksaraan yang diharapkan mampu menurunkan angka buta huruf. salah satunya melalui kelompok belajar seperti PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Kelompok belajar bisa membantu program pendidikan keaksaraan dan memotivasi timbulnya ide-ide kreatif untuk industri kecil.Dan di Indonesia sendiri terdapat beberapa tujuan selain meningkatkan pendidikan keaksaraan Pertama, untuk membebaskan penduduk dari buta aksara.Kedua, untuk memberikan bekal hidup berupa keterampilan.Dan yang terakhir, untuk menyelipkan pendidikan karakter agar masyarakat dapat hidup damai dan tenteram.
Dan indikator kelima adalah partisipasi politik perempuan dan tenaga kerja.Adanya hukum yang secara legal menjamin partisipasi peremuan diranah publik seharusnya dapat mendongkrak keterwakilan perempuan di parlemen serta kebebasan menjadi tenaga kerja baik di dalam negeri maupun di luar negeri juga dijadikan kesempatan dengan sebaik-baiknya.Hal ini akan menjadi suatu nilai lebih bagi perempuan serta merupakan peluang yang sangat besar bagaimana perempuan mendapatkan kesejahteraan.
Indikator yang terahir adalah Kesuburan, dimana kesuburan ini tekadang menjadi salah satu  faktor penghambat kesejahteraan perempuan bahkan bisa mengancam keutuhan suatu rumah tangga. Masalah kesuburanterjadi akibat terganggunya sistem reproduksi pada wanita dan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sperma pada pria. Dan salah satu cara yang mungkin menjadi solusinya diantaranya adalah bagaiman perempuan dapat menjaga atau mejaga hal-hal yang menjadi penyebab kesuburan serta bagaimana sesering dan secepat mungkin dapat berkonsultasikan hal itu ke dokter. Dan dalam hal ini seharusnya pemerintah dapat menyediakan beberapa program kesehatan serta konsultasi gratis.
B.       Masalah sosial yang dapat mempengaruhi kesejahteraan perempuan:
Terdapat beberapa pengaruh yang dapat mengganggu kesejahteraan perempuan antara lain adanya kekerasan dalam ranah domestik serta terjadinya pelecehan terhadap perempuan. Hal ini sering terjadi bagi perempuan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia menunjukkan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun.  Komnas Perempuan dan Yayasan Mitra Perempuan memiliki data bahwa sepanjang tahun 2006 angka KDRT di Indonesia dipastikan meningkat dibandingkan tahun 2005. Temuan ini tentu amat mengejutkan mengingat telah diratifikasikannya UU No.23 Tahun 2004 tentang undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.dalam hal ini perempuan juga seharusnya lebih berani bertindak secara hukum yaitu melaporkan kepada pihak berwajib bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Selanjutnya adanya keyakinan terhadap agama yang terkadang difahami kurang benar, yaitu dengan memilih jalan pasrah atau hanya berdoa tanpa bertindak dan berusaha bagaimana perempuan juga mempunyai peran dan hak yang sama walaupun secara sifat dan kodrat jelas berbeda.
Selanjutnya masalah sosial lainnya adalah terjadinya perang.Perang adalah ladang pembantaian dan tempat untuk membelenggu nilai-nilai kemanusiaan untuk satu tujuan.Perang kerap ditimbulkan oleh ambisi dan kekuasaan.Perkosaan terhadap perempuan sering kali terjadi dalam perang yang seolah-olah telah menjadi bagian dari perang itu sendiri.“Penculikan” terhadap gadis-gadis muda yang dipaksa menjadi “wanita penghibur”, sesuatu hal yang normatif di dalam perang.
Dan kemudian tampak lebih jelas dalam perang adanya klaim terhadap perempuan bahwa perempuan itu lemah.Dan sudah sepantasnya sekarang bagaimana kitaterus mendorong Pemerintah dan Dunia Internasional untuk berupaya semaksimal mungkin memberi perlindungan pada perempuan dari segala bentuk kekerasan seksual dalam perang, masa-masa konflik dan kerusuhan.
Adanya kemiskinan perempuan juga menjadi masalah sosial yang sangat berpenaruh terhadap terciptanya kesejahteraan.Tujuan Pembangunan Milenium(Millennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs) adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000.
Yaitu berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015.Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015.Dan salah satunya adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Kesepakatan ini akan menjadi pemicu tersendiri bagi perempuan supaya dapat meningkatkan kualitas dirinya dan kesejahetraan perempuan pada umumnya.
Serta adanya Marjinalisasi atau proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelaminterhadap perempuan juga megakibatkan masalah sosial. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender.Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.Misalnya :
a)       Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.
b)       Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti  sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
c)       Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan.
Selanjutnya adalah adanya ketimpangan gender.Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan (Saptari, 1997).Perempuan dipersepsikan sebagai orang kelas dua, yang seharusnya di rumah.Tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan kekasaran permainan kekuasaan.Perempuan juga dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan, karena perempuan dinilai lemah dan selalu menggunakan dan mengutamakan perasaan sehingga jauh dari sikap rasionalitas.
            Anggapan-anggapan seperti ini kemudian yang melandasi terjadinya ketimpangan gender yang secara tidak langsung sangat mempengaruhi terhadap kesetaraan atau kesejahteraan perempuan. Hal ini menjadi masalah sosial hususnya di Indonesia terlebih di daerah pedesaan atau tempat-tempat terpencil yang belum tertanam pandangan atau pemikiran-pemikiran rasionalitas.


[1] Jajat Burhanuddin dan Oman Fathurrahman, Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, PT Gramedia pustaka utama, (Jakarta 2004), H: 5. 
[2]Depkes.go.id

Eksklusi Sosial & Pembangunan



Terdapat beberapa kekuatan yang mendorong terjadinya proses eksklusi sosial menurut (Pierson, 2002) Adanya kemiskinan dan penghasilan rendah, tidak adanya akses ke pasar kerja, lemahnya atau tidak adanya dukungan sosial dan jaringan sosial, adanya efek dari kawasan dan lingkungan sekitar serta terputusnya masyarakat dari layanan. Semua ini merupakan beberapa komponen yang dapat mengeksklusi individu dari masyarakat yang lebih utuh serta dapat memperoleh kesetaraan dan keadilan.
Terjadinya suatu proses yang menghambat seseorang dalam bermasyarakat baik individu, keluarga ataupun kelompok sosial untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi dan politik supaya menjadi masyarakat yang utuh merupakan beberapa pengertian dari eksklusi sosial.
Dan definisi dari Eksklusi sosial pertama kali muncul di perancis pada tahun 1974 bahwa Eksklusi sosial adalah kumpulan dari semua orang atau individu yang tidak masuk dalam sistem jaminan sosial. dimana kemudian terjadi ketimpangan serta kelas-kelas sosial dalam masyarkat. Seperti apa yang diungkapkan oleh beberapa tokoh sosial saat itu termasuk Emile Durkheim bahwa eksklusi sosial akan menimbulkan kelas-kelas sosial dalam maysyarakat.
“Eksklusi sosial adalah proses dimana akibat kebijakan pembangunan pemerintah ataupun akibat interaksi antara kelompok masyarakat terjadi suatu relasi dimana terdapat suatu kelompok yang melakukan eksklusi dan terdapat kelompok lain yang tereksklusi (David Byrne;2005).”
Proses dari eksklusi sosial hakikatnya merupakan konsekuensi dari kemiskinan dan penghasilan yang rendah, tetapi bisa juga dampak dari faktor lain seperti diskriminasi, tingkat pendidikan yang rendah, dan merosotnya kualitas lingkungan. Melalui proses inilah individu atau kelompok masyarakat untuk beberapa periode waktu kehidupan terputus dari layanan, jejaring sosial, dan peluang berkembang yang sebenarnya dinikmati sebagian besar masyarakat (Pierson, 2002).
Adanya beberapa bentuk diskriminasi serta peluang yang hanya dinikmati oleh sebagian besar masyarakat dalam hal ini laki-laki dan para pemilik modal yang selalu mendominasi, dan para buruh serta perempuan yang tetap dilihat sebagai ibu rumah tangga serta tak mempunyai banyak peran merupakan pandangan pembangunan yang secara jelas dapat menciptkan adanya eksklusi dalam suat masyarakat dari beberapa kelompok lainnya.
Dari beberapa penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa eksklusi sosial adalah proses pengeluaran atau terputusnya individu dari suatu sistem masyarakat yang tidak mendapatkan pengakuan secara layak oleh masyarakat tersebut dengan beberapa faktor penghambat yang pada ahirnya individu kehilangan kesempatan untuk bersaing memenuhi kebutuhan dirinya sendiri menjadi layaknya masyarakat seperti pada umunya.
Namun suatu bentuk pengeksklusian bukanlah semata-mata merupakan akibat dari kemiskinan seperti yang dinyatakan oleh Hillary Silver & Miller dan juga Daniel Beland, namun dapat pula merupakan by-product dari sebuah perilaku masyarakat yang cenderung mengucilkan masyarakat yang dinilai tidak selevel dengannya dari segi manapun (financial, edukasi, gender bahkan gaya hidup). 
Dari berbagai persoalan eksklusi sosial tidak lepas dari isu pembangunan dimana perempuan serta para buruh dalam hal ini sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil baik di ranah domestik maupun diranah publik, perempuan serta buruh migran selalu tidak mendapatkan pengakuan yang layak dari setiap konstribusinya dimana secara terus menerus tidak dihargai dan tidak mendapatkan fasilitas yang layak, sehingga perempuan serta kaum buruh tidak jarang merasa tersingkirkan dari para kaum kapitalis.
Dan di Indonesia sendiri sangat sanyak potret kehidupan yang merupakan cerminan dari korban eksklusi sosial, diantaranya adalah banyaknya anak jalanan, angka pengangguran, pekerja seks komersial serta beberapa pengemis jalanan yang menghabiskan banyak waktunya dijalanan yang semata-mata hanya untuk mempertahankan hidup serta mendapatkan pengakuan yang layak dari masyarakat atau kelompok-kelompoknya.
hal ini tidak lepas dari kurangnya perhatian pemerintah yang terkadang kurang mempedulikan rakyat kecil serta buruh perempuan pada hususnya, walaupun pemerintah tidak jarang melakukan kebijakan-kabijakan yang mengatas namakan rakyat kecil untuk kepentingan pribadinya. dalam hal ini teori dependensi yang lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara Dunia Ketiga.
Munculnya teori dependensi lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori ini mencermati hubungan dan keterkaitan negara Dunia Ketiga dengan negara sentral di Barat sebagai hubungan yang tak berimbang dan karenanya hanya menghasilkan akibat yang akan merugikan Dunia Ketiga. Sedangkan menurut teori moderniasasi sendiri, apa yang dialami oleh masyarakat Indoensia, khususnya masyarakat kota banyak yang menjadi korban penggusuran.
Dan seharusnya pembangunan tersebut benar-benar memperhatikan kesejahteraan dan konsekuensi bagi masyarakatnya. Tidak hanya memikirkan pembangunan dan kemajuan fisik semata, tetapi memperhatikan masyarakatnya sebagai sasaran dari pembangunan tewrsebut.


Daftar Pustaka:
Pierson, John. 2002. Tackling Social Exclusion. London and New York: Routledge.
Arivia Gadis 2006. Feminisme Sebuah Kata Hati. PT KOMPAS Media Nusantara. Jakarta.
Haralambors and Holborn, 2004, Sociology; Themes and Perspektives, London Hari Nugroho, 2008, Bahan kuliah Eksklusi Sosial, , MMPS, Universitas Indonesia Francisia SSE Seda, 2008

Sabtu, 05 Januari 2013

Tentang Anak Jalanan dan Pekerja Anak di Indonesi



Fenomena pekerja anak dan anak jalanan di Indonesia pada dasarnya merupakan dampak negatif yang ditimbulkan dari pembangunan yang tidak merata. Pembangunan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja, sehingga terjadi jurang pemisah sosial dan kemiskinan. Anak-anak jalanan dan pekerja anak merupakan kelompok sosial yang tersisihkan dari mainstream sosial atau dengan kata lain telah mengalami eksklusi sosial. Posisi mereka menjadi termarjinalkan karena tidak mempunyai posisi sosial (budaya, politik, ekonomi) yang jelas di tengah-tengah masyarakat. Mereka mengalami stigmatisasi yang terus-menerus dalam masyarakat karena memiliki ciri-ciri mobilitas geografis dan mobilitas pekerjaan yang tinggi, pendatang musiman, pekerja tak tetap, orang yang tak mempunyai tempat tinggal tetap, dan tingkat pendapatan sangat rendah atau subsisten. Anak-anak dari golongan kelas sosial bawah tersebut harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga agar tetap survive.
Kondisi pekerja anak di Indonesia sangat memprihatinkan. Mereka sering bekerja tanpa dibayar (unpaid workers) karena bekerja untuk membantu orang tua dalam sektor informal atau bekerja dengan waktu yang sangat panjang di sebuah perusahaan namun tidak mendapatkan upah yang sesuai. Dengan kata lain, mereka telah mengalami eksploitasi baik oleh keluarga sendiri maupun oleh sistem ekonomi pasar kerja yang kompetitif, dimana menekankan pada sistem pengupahan yang fleksibel untuk tujuan efisiensi yang sebesar-besarnya. Hal ini tidak menguntungkan bagi mereka karena menimbulkan dampak negatif secara fisik maupun psikologis.
Dampak dari adanya fenomena anak jalanan dan pekerja anak dalam jangka panjang akan mengakibatkan keterpurukan ekonomi dan sosial di Indonesia. Hal tersebut dapat diprediksikan dari rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia disebabkan karena anak-anak dari keluarga kelas bawah, yang merupakan modal pembangunan nasional, tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pedidikan yang berkualitas.
Mengingat kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh pekerja anak, perlu ada kebijakan khusus bagi anak-anak yang bekerja. Melarang anak-anak untuk tidak bekerja sama sekali bukan merupakan kebijakan yang tepat, walaupun ILO memiliki program penghapusan pekerja anak (Iinternational Program on The Elimination of Child Labor – IPEC). Bagi penduduk miskin, pendapatan anak-anak sangat membantu menopang kelangsungan hidup keluarga. Beberapa alternatif kebijakan yang mungkin dapat diambil adalah dengan cara melakukan intervensi baik bagi pekerja anak maupun bagi orangtua. Misalnya dengan memberikan bantuan berupa beasiswa bagi anak-anak untuk bersekolah dan penciptaan lapangan kerja bagi orang tua melalui program padat karya. Mengingat sumber daya pemerintah yang terbatas, maka program penanggulangan masalah pekerja anak dapat diprioritaskan bagi anak-anak yang mempunyai kepala rumah tangga berpendidikan rendah. Keluarga yang demikian diduga merupakan keluarga miskin, sehingga anak-anak yang berasal dari keluarga ini akan rentan terhadap eksploitasi, dan berpeluang untuk terjerat dalam lingkaran kemiskinan. Selain dengan tegas menolak eksploitasi anak, dan memberlakukan hukum dengan konsekuen, perhatian pemerintah harus difokuskan mencegah pekerja anak putus sekolah atau tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Disamping itu mutu pendidikan harus pula terus-menerus diperbaiki agar rasa skeptis masyarakat terhadap sistem pendidikan nasional hilang, dan berupaya keras untuk mengirimkan anak-anaknya ke sekolah. 

Kamis, 03 Januari 2013

Pendekatan Giddens Tentang Demokrasi


Mensarikan Pendekatan Giddens Tentang Demokrasi

Dalam pendekatan klasik, kaum liberal selalu menganggap negara sebagai arena untuk bertarung secara bebas. Maka negara adalah jawaban untuk mengatur warga negara. Hingga lahir kaum neo-liberal mengkritik ‘serba kebablasannya’ peran negara dalam mengatur warga negara. Kaum neoliberal lalu ingin memperkecil peran negara. Sementara dari kubu sosialis, golongan Marx ortodoks selalu menaruh kecurigaan secara ideologis negara sebagai alat kelas borjuis dalam melakukan kepentingan kelasnya. Hingga eksperimen negara sosialis yang gagal, tetap mendorong keinginan kaum sosialis, dan sosialis democrat untuk memperluasnya. Jalan ketiga sebagai proyek ambisiusnya Giddens,
menyatakan penting untuk merekontruksinya –melampui mereka yang berada di kiri. Yang menyatakan “bahwa pemerintah adalah musuh”, dan kelompok kanan yang mengatakan bahwa pemerintah adalah jawabannya. (Giddens, Jalan Ketiga, h.80)

Sebab-sebab mendasar gagasan jalan ketiga adalah analisis Giddens yang tajam mengenai semakin mengemukanya pasar global dan mundurnya perang berskala besar yang telah memepengaruhi struktur dan legitimasi pemerintah. Demikian juga sebab lainnya yang mencakup semakin meluasnya penyebaran demokratisasi, yang berkaitan erat dengan pengaruh tradisi dan adat istiadat yang tumpang tindih. Daya tarik demokrasi menurutnya bukanlah sepenuhnya –dan bukan terutama—muncul dari kemenangan institusi-institusi demokrasi liberal atas institusi-institusi lain, tetapi dari kekuatan-kekuatan yang lebih dalam yang membentuk kembali masyarakat global termasuk tuntutan atas otonomi individual dan muncuknya masyarakat yang lebih reflektif. Giddens, ibid h.81). Isyu nya bukanlah peran pemerintah yang lebih besar atau lebih kecil, tetapi pengakuan bahwa pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru abad global; dan bahwa otoritas, termasuk legitimasi negara, harus diperbaharui secara aktif. Giddens merumuskan agenda perubahan, sebagai berikut:

Pertama, negara harus merespon globalisasi secara structural. Globalisasi menciptakan penalaran dan dorongan yang kuat tidak hanya pada transfer otoritas ke bawah, tetapi jutga transfer otoritas ke atas. Pendemokrasian demokrasi dalam merespon globalisasi ini, menurutnya pertama-tama mengimplikasikan desentralisasi. Gerakan demokrasi ganda ini tidak dengan demikian sekedar menyebabkan melemahnya otoritas negara, tetapi juga merupakan kondisi untuk bisa menegaskan kembali otoritas negara-bangsa, karena gerakan ini dapat membuat negara lebih responsive terhadap pengaruh-pengaruh yang mengepung dan siap menyerangnya.

Kedua, negara harus memperluas peran ruang publik, yang berarti reformasi konstitusional yang diarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar, serta pengenalan sarana perlindungan baru terhadap korupsi. Ketiga, negara tanpa musuh, dengan meningkatkan efisiensi administratifnya. Pemerintah pada semua tingkatan tidak dipercaya karena tidak praktis, tidak efektif. Selain itu, istilah birokrasi yang berkonotasi aturan dan prosedur yang serba rumit, diciptakan untuk merujuk kepada pemerintah. Sebagian besar pemerintah harus belajar banyak kepada praktek bisnis, misalnya kontrol sasaran, auditing yan efektif, struktur keputusan yang fleksibel, dan peningkatan partisipasi pekerja, semuanya menjadi factor penting reformasi kelembagaan dalam prasyarat demokratisasi. Ke-empat, Tekanan globalisasi yang hingga ke bawah mendorong pemerintah untuk mampu menemukan bentuk dan potensi demokrasi yang ada dan tumbuh di masyarakat. lain yang hidup. Hal ini harus membangun kontak langsung dengan masyarakat. Ke lima, negara harus memiliki kapasitas mengelola resiko, yang tidak hanya berhubungan dengan resiko atas jaminan keamanan, tetapi juga yang berkaitan dengan resiko ekonomis, juga resiko lainnya seperti perkembangan sains dan teknologi juga mempengaruhi pemerintah secara langsung. Ke-enam, Pendemokratisasian demokrasi tidak bisa hanya secara lokal atau nasional. Negara harus memiliki pandangan kosmopolitan, sementara demokratisasi ke atas tidak berhenti pada tingkat regional. Pendemokratisasian mengasumsikan pembaruan masyarakat sipil. Desentralisasi dan devolusi, misalnya, memiliki keterkaitan yang menarik –mengembalikan kekuasaan kepada wilayah-wilayah, kota-kota, lingkungan-lingkungan tempat tingggal. Devolusi bisa mengarah kepada perpecahan jika tidak diimbangi dengan transfer kekuasaan “ke atas”.

Gagasan-gagasan politik jalan ketiga adalah bahwa negara dan masyarakat sipil harus bermitra, saling memberikan kemudahan, dan saling mengontrol. Reformasi negara dan pemerintah harus menjadi pronsip dasar. Tema mengenai pengembangan dan demokratisasi di tingkat komunitas juga sesuatu yang fundamental dalam pengembangan masyarakat sipil. Saling hubungan antara negara dan masyarakat sipil adalah bahwa pemerintah dapat mendorong pembaruan dan pembangunan masyarakat. Giddens menyebut basis ekonomi kemitraan tersebut sebagai ekonomi campuran baru (new Mixed economy) (Giddens, ibid, h. 79). Sementara ekonomi itu dapat efektif hanya jika institusi-institusi kesejahteraan yang ada dimodernisasikan secara menyeluruh. Bahwa kemajuan ekonomi yang efektif juga akan mendorong menguatnya pemerintah.

Rabu, 02 Januari 2013

AGEN GLOBALISASI YANG CACAT


Adanya teknologi sebagai agen globalisasi yang diharapkan mampu memberikan perubahan serta dapat memberikan control yang kuat bagi suatu negara untuk lebih maju, ternyata belum mampu diaplikasiakan dengan sebaik-baiknya oleh negara.Hususnya di Negara Indonesia yang sampai detik ini terlihat kesulitan memecahkan beberapa permasalahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme(KKN) padahal ketika melihat dari SDA dan juga SDM Indonesia merupakan Negara yang sangat potensial sekali menjadi Negara yang maju. Tidak sedikit Negara-negara yang mampu menjadi Negara maju dengan disokong adanya teknologi,  walaupun secara jelas terlihat SDA dan SDMnya jauh kurang baik dibandingkan Indonesia. lihat saja Singapura yang merupakan salah satu dari 17 negara terkecil di dunia dengan populasi yang hanya mencapai 5 juta orang. Namun mereka mampu menggunakan teknologi dengan baik bagaimana mengontrol negara dengan sitemkomputerisasinya. Berkembangnya suatu Negara menjadi maju tidak lepas dari fenomena globalisasi yang terjadi akibat kemajuan dan perkembangan teknologi.   Setelah perang dunia kedua selesai, banyak Negara yang merdeka. Negara-negara tersebut membangun pemerintahan dan melakukan pembangunan di bidang yang mereka ungguli ,misalnya pertanian , sumber daya alam dan sumber daya manusia .
Namun, pada saat itu Negara tidak memiliki alat yang yang cukup lengkaps, kemudian Negara-negara tersebut harus melakukan diplomasi ,kerjasama dan perdagangan antar Negara. Akhirnya dengan arus globalisasi mulailah masyarakat menggunakan alat tekhnologi yang merupakan salah satu dampak dari arus globalisasi tersebut.
Princenton N. Lyman (1935) menyatakan bahwa Globalisasi merupakan pertumbuhan yang sangat cepat atas saling ketergantungan dan hubungan antara Negara-negara didunia dalam hal perdagangan dan keuangan.  Dari hal ini cukup jelas Indonesia mempunyai ketergantungan yang sangat kuat terhadap beberapa Negara, yang hampir 75% pengusaha asing menguasai saham-saham Indonesia.
Dan lebih tragisnya lagi peran pemerintah dalam hal ini justru terkesan takut terhadap investor-investor asing serta membiarkan transaksi-transaksi politis ini berkelanjutan, walaupun secara jelas dengan adanya pengusaha asing tersebut Indonesia mendapatkan hasil yang lebih rendah dan sangat dirugikan.
Dan dampak dari hal ini menyebabkan penduduk Indonesia tanpa terasa menjadi budak di Negara sendiri karena sampai saat inipun Indonesia belum mampu mengolah dan mengelola sumber daya alamnya sendiri menjadi sesuatu yang bisa dikonsumsi baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam hal ini mungkin ada baiknya Negara Indonesia membuat sebuah kebijakan yang tegas serta larangan kalau perlu bagaimana investor asing tidak dibatasi menanam saham di Indonesia lagi dengan beberapa kebijakan yang tentunya menguntungkan negara . serta kemudian dengan teknologi yang canggih Negara sendirilah yang mengontrol seluruh perusahaan bagaimana dapat mempermudah kinerja pemerintah. Salah satunya Dengan menggunakan CCTV misalkan disetiap sudut yang dapat dikontrol langsung oleh negara.
Dan disisi lain Indonesia saat ini hanya mampu menunjukkan perkembangan teknologi yang hanya bisa dikonsumsi oleh rakyat saja tanpa sedikitpun memberikan kontribusi secara nyata terhadap Negara bagaimana menyelesaikan beberapa persoalan yang membutuhkan peran dari teknologi tersebut.
Sebut saja masalah transportasi dimana Indonesia merupakan 20 Negara termacet di dunia, hal ini sebenarnya sangat bisa mengharapkan peran pemerintah bagaimana mengembangkan teknologi supaya dapat mengatasi masalah kemacetan di beberapa kota Indonesia.
Dalam hal ini mungkin Indonesia bisa mengadopsi transportasi singapura dengan Mass Rapid Transit (MRT) sebagai transportasi umum yang nyaman dan cepat dengan menggunakan system komputerisasi yang canggih.
Dari dua persoalan tersebut pada intinya Indonesia belum mampu mengembangkan teknologi sebagai agen utama globalisasi ini dengan sempurna. Dan pemerintah juga masih kurang berani dalam menggunakan teknologi sebagai alat utama bagaimana dapat mengontrol Negara yang lebih canggih.
Lagi-lagi adanya kemajuan suatu Negara tidak lepas dari perang lobalisasi yang didalamnya terdapat kemajuan dan perkembangan teknologi yang baik. Dan sangat relevan sekali bagi Indonesia menggunakan alat teknologi tersebut menuju Indonesia kedepan yang lebih maju.