MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas UAS
SOSIOLOGI KEPENDUDUKAN
Migrasi Internasional dan Problem Brain Drain
(Studi komparasi masalah-masalah kependudukan di negara berkembang)
Nama : Achmad
Faruk
Nim :
109032200021
PRODI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2013
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sejak
tahun 1970, bahkan sejak perekonomian diikuti oleh kenaikan harga minyak dunia
pada 1973, banyak pemerintah Eropa Barat tidak bisa menghalangi datangnya
pekerja asing kendati mereka memiliki hak untuk melakukannya. Arus perpindahan
penduduk melewati batas negara ini dipahami sebagai isu utama yang berdampingan
sebagai dampak dari fenomena integrasi dimensi perdagangan, makroekonomi,
pertumbuhan, dan kesehatan yang terjadi berdampingan karena proses globalisasi.
Fenomena, penyebab, dan konsekuensi perpindahan melewati batas negara tersebut
saat ini tidak dikesampingkan dalam berbagai studi akademis ilmu sosial terkait
dengan ekonomi, ilmu politik, hubungan internasional dan studi lain yang
melibatkan serangkaian etika dan teori.
Terkait
dengan “apakah arus migrasi merupakan sebab proses globalisasi?” Arus migrasi
pada era “saat ini” tidak lebih besar daripada arus migrasi di era-era
sebelumnya. Migrasi yang terjadi saat ini hanya sebesar 175 juta orang saja,
artinya jumlah ini hanya berkisar 3 persen dari total penduduk dunia (Bhagwati,
2004: 209). Bhagwati menyebutkan banyak pengamat menilai arus migrasi saat ini
lebih kecil disebabkan hambatan seperti kontrol perbatasan yang ketat dan
migrasi bukan hal yang cuma-cuma. Ahli sejarah banyak yang setuju bahwa migrasi
yang paling fenomenal hingga mencapai 10 persen jumlah penduduk dunia terjadi
di abad kesembilan belas. Perbedaan migrasi era lalu dengan saat ini terletak
pada perpindahan penduduk dari negara miskin ke negara kaya daripada
perpindahan penduduk dari Old World(Eropa) ke New World (Amerika Serikat),
merujuk pada perpindahan penduduk atau migrasi sebelum dan pasca Perang Dunia.
Pernyataan Bhagwati ini juga didukung oleh Martin Wolf, Jeffrey William, dan
Timothy Hutton yang menyatakan “Empat puluh tahun sebelum PD I, migrasi
meningkatkan daya kerja Dunia Baru (Amerika Serikat) sebanyak 1/3 jumlah
populasi dunia dan mengurangi daya kerja Eropa sebanyak 1/8, merupakan gambaran
yang tidak terlampaui oleh migrasi California dan Meksiko yang terjadi empat
puluh tahun yang lalu”. Perpindahan atau migrasi saat ini diyakini merupakan
suatu hal yang membawa pertentangan dan menimbulkan anggapan bahwa mesti dikonfrontasi
(Bhagwati, 2004: 209).
Arus
perpindahan manusia (migrasi) terjadi dalam banyak cara sehingga mengundang
diterapkannya suatu kebijakan sebagai respon terhadap fenomena tersebut.
Bhagwati dalam tulisannya berjudul “International Flows of Humanity” meyakini
analisis arus perpindahan tersebut dikelompokkan menjadi tiga tipe yang dapat
membantu dalam mengenali problem migrasi saat ini dan metode untuk mengatasinya
antara lain:
(1) arus migrasi dari negara miskin ke negara
kaya dengan perbedaan implikasinya apabila arus tersebut berjalan sebaliknya.
(2)
arus migrasi pekerja ahli dan pekerja non-ahli, pada awalnya dapat dianggap
menyebabkan problema brain-drain di negara yang ditinggalkan biasanya terjadi
di negara miskin dan berkembang atau opportunity bagi para migran sendiri.
(3) arus migrasi secara ilegal dan legal, dan
yang mana dipicu kondisi dan situasi misalnya akibat perselisihan dan tekanan
migrasi yang bersifat karena dorongan (voluntary) atau paksaan (involuntary)
seperti arus pengungsi.
Persoalan
yang muncul terletak pada asimetri kepentingan negara kurang maju (miskin) dan
negara maju terkait dengan migrasi. Misalnya, terkait dengan arus migrasi
tenaga ahli dan tenaga non-ahli: negara maju cenderung menginginkan imigran
yang masuk adalah tenaga-tenaga ahli yang kompeten dan sibuk untuk menerapkan
berbagai kebijakan yang mencegah tenaga non-ahli memasuki batas negara mereka.
Sedangkan negara kurang maju (negara asal miskin) memiliki kepentingan untuk
membiarkan/ mengijinkan tenaga kerja non-ahli keluar dari wilayahnya, dan
menahan tenaga ahli untuk tetap tinggal di negaranya. Fenomena perpindahan
tenaga ahli ke negara maju inilah yang sering dirujuk sebagai fenomena “brain
drain” atau “human capital flight”.
Persoalan
kedua terletak pada ketidakseimbangan kesempatan di negara kurang maju (asal)
dan negara maju (negara tujuan) dalam menyediakan hiburan, fasilitas-fasilitas
yang mendukung karir profesional tenaga ahli, pengalaman pekerjaan yang lebih
baik, dan pendidikan untuk anak-anak mereka. Akan lebih tidak masuk akal jika
negara asal menerapkan kebijakan untuk membatasi imigran menetap di negara
tujuan. Oleh karena itu terdapat beberapa kondisi yang ditawarkan oleh Bhagwati
dalam melihat fenomena “brain drain” ini dari dua dimensi, negara asal dan
negara tujuan.
Tulisan
ini bertujuan mendapatkan gambaran umum secara deskriptif tingkat migrasi
internasional menciptakan problem “brain drain” di negara asal beserta alternatif
kebijakan migrasi di beberapa negara di berbagai kawasan.
I.2. Rumusan Masalah
Dalam rumusan masalah ini mencoba mengetahui Sejauhmana
Migrasi Internasional Menciptakan Problem “Brain Drain” di negara asal, dengan menggunakan studi komparasi masalah-masalah kependudukan
di negara berkembang.
BAB
II
KERANGKA
TEORITIS
A. TEORI GLOBALISASI DALAM MIGRASI INTERNASIONAL
Menurut Bhagwati, proses migrasi internasional ini
tidak terlepas dari fenomena globalisasi yang membuat negara seakin
terintegrasi. Prospek Globalisasi terhadap arus migrasi secara global:
Globalisasi menciptakan peluang adanya perdagangan dan interaksi internasional
menguat. Globalisasi mendorong kompetisi pasar dengan menciptakan dan menarik
perhatian tenaga-tenaga ahli dan profesional. Pemerintah melihat kualitas
pekerja yang demikian akan cenderung lebih mudah berasimilasi dengan lingkungan
masyarakat baru.
Hal
ini meningkatkan permintaan yang sesuai dengan penawaran yang ada. Misalnya
negara yang kurang berkembang tidak mampu menyediakan imbalan ekonomi atau
kondisi sosial yang diperlukan oleh kelompok tenaga kerja ahli dan profesional.
Akan tetapi, Eropa dan Amerika serikat mampu memberikan kesempatan pendidikan
anak-anak tenaga ahli dan prospek karir yang tidak tersedia di negara asal
mereka.
B. DEFINISI KONSEPTUAL “MIGRASI”
Migrasi didefinisikan sebagai suatu bentuk perpindahan
seseorang atau kelompok orang dari satu unit wilayah geografis menyebrangi
perbatasan politik atau administrasi dengan keinginan untuk tinggal dalam tempo
waktu yang tidak terbatas atau untuk sementara di suatu tempat yang bukan
daerah asal.[1] Sedangkan migrasi tenaga kerja biasanya didefinisakan sebagai
perpindahan manusia yang melintasi perbatasan untuk tujuan mendapatkan
pekerjaan di negara asing (IOM, 2009).
C. MIGRASI INTERNASIONAL
Bhagwati menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi
fenomena migrasi: faktor pendorong dan penarik. Faktor pendorong ialah sejumlah
faktor yang mempengaruhi keputusan emigran untuk meninggalkan negara asal,
sedangkan faktor penarik ialah sejumlah faktor yang mempengaruhi arus masuk
migrasi. Sejumlah faktor tersebut tidak hanya beroperasi dalam ruang lingkup
mekanisme pasar (penawaran dan permintaan) tetapi juga konstruksi sosial yang
mendorong “brain drain”.
Supply Factors: Peningkatan kualitas standar hidup,
kemajuan pendidikan dan kesempatan bagi anak-anak, serta ketertarikan adanya
fasilitas profesional lebih baik terkait dengan migran tenaga ahli adalah sejumlah
dorongan ekonomi utama emigrasi. Variabel tersebut menjelaskan dorongan
emigrasi, perpindahan dari negara kurang maju ke negara maju, perpindahan
tersebut dapat juga terjadi antarnegara maju. Akan tetapi arus pengungsi ke
satu wilayah tidak menjelaskan adanya penyebab atau ketertarikan dorongan
ekonomi di atas.
Meningkatnya ketimpangan (inequality) antar negara
yang dilihat sebagai insentif yang menambah keinginan emigran untuk keluar dari
negara asalnya. Tetapi, Bhagwati menyebutkan bahwa seiring ketimpangan ini
berkurang, turut menjelaskan (meskipun tidak secara dramatis) menekan arus
migrasi begitu pesat.
Salah satu faktor yang menekan arus migrasi saat ini
ialah faktor finansial untuk melakukan perjalanan, khususnya bagi negara kurang
maju (miskin) yang kemudian cenderung untuk menempuh jalur ilegal.
Migrasi biasanya dipicu oleh emigrasi sebelumnya yang
membangun momentum untuk tumbuh migrasi yang lebih besar. Ditambah lagi biaya
migrasi menjadi semakin rendah karena faktor kemudahan teknologi, travel, dana
telekomunikasi yang mudah diakses.
Faktor Permintaan. Faktor permintaan emigrasi meningkat di negara-negara maju,
dan akan terus bertambah untuk dua alasan: demografi dan bertambahnya
permintaan terhadap tenaga kerja ahli yang terspesialisasi.Pertama, faktor yang
membuat permintaan migrasi menguat dikarenakan oleh kondisi demografi negara
maju yang menunjukkan penurunan angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang
rendah. Kedua, karena adanya permintaan terhadap pekerja ahli di negara kaya. Proses
perkembangan informasi dan teknologi yang kompleks telah mendatangkan kebutuhan
pasar untuk ahli komputer, programer, dan lainnnya. Ketiga, meningkatnya
rekrutmen tenaga kerja kontrak di berbagai pelayanan jasa yang ditampung oleh
pihak-pihak asing seperti perusahaan asing yang memiliki cabang di luar negeri
(Bhagwati, 2004: 212). Ketiga, meningkatnya tren outsourcing, perekrutan tenaga
kerja kontraktual di suatu perusahaan.
BAB
IV
ANALISIS
PERMASALAHAN
A. “FENOMENA BRAIN DRAIN” DI NEGARA BERKEMBANG.
Brain
Drain adalah keadaan di suatu negara yang mengalami migrasi kaum intelektual. ke
luar negeri. Fenomena Brain Drain pertama kali diperkenalkan oleh Royal Society
untuk menggambarkan fenomena migrasi kaum teknokrat Inggris ke Amerika Utara
pada era tahun 1950an. Saat ini, China, India, Pakistan, dan Iran terkenal
sebagai negara pengekspor kaum intelektual ke negara – negara maju di AS maupun
Eropa Barat. Tulisan ini akan mengulas lebih lanjut dampak dari Brain Drain dan
cara penanggulangnya. Umumnya, brain drain memberikan tiga bentuk kerugian bagi
negara pengekspor (negara asal). Pertama, brain drain menyebabkan kelangkaan
SDM ahli. Hijrahnya kaum intelektual ke luar negeri menyebabkan kurangnya
tenaga ahli di dalam negeri. Untuk mengatasi jurang antara kebutuhan industri
dan kelangkaan SDM ahli, negara yang terkena brain drain harus merogoh kocek
sangat dalam untuk membayar ekspatriat. Tentu saja, membayar para ekspatriat
juga akan berimbas pada lemahnya produk domestik bruto negara. Negara – negara
Afrika mengalami kerugian hingga sekitar 38 trilyun rupiah setiap tahun akibat
brain drain. Negara jazirah Arab harus merogoh kocek hingga 200 milyar dolar
juga akibat brain drain.
Yuan (1992) menyatakan ada 5 faktor utama penyebab
dari brain drain, yakni: keunggulan fasilitas belajar dan riset di luar negeri,
prospek karir yang lebih cerah di luar negeri, tingkat pendapatan dan
penghargaan yang lebih tinggi, kepuasaan dalam pekerjaan, dan desakan dari
keluarga inti. Lebih lanjut lagi, Yuan (1992) memberikan 5 faktor utama yang
memotivasi intelektual untuk pulang ke negara asal, yakni: patriotisme,
perasaan bersalah, rindu terhadap keluarga, tersedianya pekerjaan yang sesuai,
dan rasa nasionalisme.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi dapat dilihat melalui kerangka teoritis
oleh Bhagwati (2006). Dampak lebih jauh brain drain ialah kondisi dimana
berkurangnya tenaga ahli dan terdidik suatu negara. Kedua,rendahnya
kesejahteraan terhadap lingkungan di negara asal. Ketiga,pengembangan sumber
daya manusia negara asal yang semakin tertinggal. Dampak ketiga ini dialami
oleh negara Indonesia. berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP (United
Nations Development Program) pada 2005, menyebutkan Indonesia menduduki
peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Pada tahun sebelumnya, yakni 1997
peringkat Indonesia naik dari 99, ke 102 pada 2002 dan merosot pada peringkat
111 pada tahun 2004.[2]
A.
Dilema
“Brain Drain” Indonesia.
Dilema brain drain di Indonesia berasal dari tiga hal
utama. Pertama, tingkat angkatan kerja Indonesia yang masih sangat rendah. Pada
tahun 2005, dari 107 juta angkatan kerja Indonesia, persentase lulusan S1, D3,
dan D1 secara berturut-turut hanya sebesar 3,13%, 1,26%, dan 1,03%. Untuk
lulusan SMP dan SMA masing-masing sebesar 19,55% dan 18,8%. Sedangkan untuk
mereka yang tamat maupun tidak tamat Sekolah Dasar (SD) masing-masing sebesar
37,3%. Hal ini diperparah oleh jumlah angka putus sekolah yang demikian
besarnya, yaitu mencapai 334.000 siswa setiap tahunnya. Ini belum termasuk
sekitar 14,6 juta penduduk Indonesia yang masih buta aksara untuk golongan umur
15 tahun ke atas.[3]
Meskipun belum terdapat terdapat data empiris, diperkirakan telah mencapai
angka 5%. Jumlah ini dapat kita katakan cukup signifikan di tengah terpuruknya
SDM Indonesia yang disertai dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan yang
hanya menyisihkan sebesar 11,8 persen dari APBN.
Kedua, penyebab brain drain dari dimensi struktural
seperti beberapa kondisi riil di dalam negeri menjadi pertimbangan penting bagi
mereka untuk tetap menetap di luar negeri. Misalnya, ketiadaan fasilitas dan
dana untuk melakukan riset; kurangnya jaminan sosial dan kenyamanan hidup, baik
bagi sang tenaga ahli maupun keluarganya; kurangnya prospek dan kesempatan
berkarir; masih terjadinya konsep senioritas yang kaku, lemahnya institusi,
panjangnya birokrasi; hingga terjadinya pendeskriditan pendapatan dan fasilitas
antara tenaga ahli asing dengan Indonesia walaupun berkualifikasi keahlian yang
sama.
Ketiga, problem brain drain berasal dari rendahnya
kompetisi. Di sisi lain, universitas unggulan di dalam negeri sebagai produsen
utama tenaga ahli juga masih sangat minim, sehingga menyebabkan terjadinya
kekeringan dalam rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi di tanah air. Padahal
berdasarkan UNESCO Science Report 2005, pengembangan perguruan tinggi di negeri
asal menjadi magnet yang paling efektif untuk menarik para peneliti kembali ke
negara tempat kelahirannya. Secara kasat mata, salah satunya dapat kita nilai
dari tidak masuknya universitas-universitas terbaik di Indonesia untuk 100
besar Asia Pasifik atau hanya menempatkan tiga universitas di urutan akhir dari
500 universitas di dunia.[4].
B. Dilema “Brain Drain’ di Malaysia.
Telah terjadi fenomena brain drain yang serius di
Malaysia. Faktor-faktor yang mendukung diantaranya adalah kesempatan karir yang
lebih baik diluar negeri, adanya ketidakpuasan di negara sendiri seperti
korupsi, ketidaksetaraan sosial, sedikitnya kemerdekaan beragama, kesempatan
pendidikan yang lebih luas dan ketidakpuasan terhadap kebijakan Bumiputera.
Pada tahun 2011, Bernama telah melaporkan ada lebih dari 1 juta warga Malaysia
yang bekerja diluar negeri. Akhir-akhir ini fenomena brain drain telah
meningkat: sebanyak 305.000 warga Malaysia bermigrasi ke luar negeri antara
Maret 2008 dan Agustus 2009 dibandingkan dengan ‘hanya’ 140.000 warga Malaysia
bermigrasi pada 2007. Destinasi yang popular antara lain Singapura, Australia,
Amerika Serikat dan Inggris. Fenomena ini telah menyebabkan rata-rata
pertumbuhan ekonomi Malaysia jatuh ke 4,6 persen per annum pada tahun 2000an
dibandingkan pada tahun 1990an yakni mencapai 7,2 persen.
Brain drain atau perpindahan tenaga ahli adalah sebuah
kemestian sekaligus merupakan fenomena global. Sebuah negara tidak mungkin
melakukan pelarangan atas terjadinya fenomena brain drain karena brain drain
merupakan dampak langsung dari globaisasi. Hal yang harus dilakukan adalah
penyikapan, bukan pelarangan. Brain drain akan bernilai positif jika kita
cerdas menyikapi. Namun hal yang perlu dipahami adalah keuntungan atas
penyikapan fenomena brain drain bukan merupakan sesuatu yang instan. Jadi,
penyikapan atas fenomena brain drain membutuhkan kematangan, gradualitas, dan
ketepatan perencanaan.
Beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia
dalam rangka meraih sisi positif dari fenomena brain drain adalah dengan cara
mengimplentasikan desain sistem pendidikan yang efektif dan measurable,
membangun kepemimpinan nasional yang tercerahkan, menciptakan pola transfer
ilmu para pelaku brain drain. Untuk tahapan jangka panjang, pemerintah perlu
segera membentuk suatu program atau badan khusus untuk mengantisipasi negative
snowball effect dari brain drain.
C.
Dilema
“Brain Drain” di Taiwan.
Taiwan
menjadi contoh istimewa dari parahnya mereka mengalami brain drain, sekaligus
betapa suksesnya mereka menggaet para brain drainernya untuk kembali atau berkontribusi
positif terhadap negaranya. Tahun 1970-an, posisi Taiwan adalah layaknya
Indonesia saat ini. Saat itu, Taiwan adalah tipikal negara berkembang yang
hanya bisa menyuplai banyak tenaga kerja murah bagi negara maju. Hubungan
dengan negara-negara maju dalam ekonomi maupun Iptek selayaknya Indonesia
sekarang. Bukan berdiri sama tinggi ataupun duduk sama rendah. Sementara itu,
banyak dari kalangan cerdas atau intelektual Taiwan bersekolah lalu bekerja di
Negara maju, seperti Amerika Serikat.
Tahun 1980-an, Pemerintah Taiwan mengubah arah kebijakan yang membuat iklim
ekonomi dan pengembangan Iptek Taiwan lebih kondusif. Mulailah Pemerintah
Taiwan mendekati para brain drainer yang berdiam di LN dan sudah banyak
mempunyai modal. Mereka di harapkan dapat berkontribusi modal untuk pembangunan
negaranya. Pendekatan simpatik dari pemerintah bersambut. Para warga negara
Taiwan yang tingal di LN berbondong berbalik ke Taiwan dan menjadi reversed
brain drain. Para SDM unggul ini, tidak hanya menyumbangkan modalnya, bahkan
pikiran dan karyanya pada negaranya.
Contohnya, Miin Wu, “braindrainer” yang lulus PhD dari Stanford tahun 1976.
Lalu dia bekerja sebagai profesional di Silicon Valley dan kembali ke Taiwan
1989. Setelah kembali ke Taiwan, Wu mendirikan perusahaan Macronix Co.
Perusahaan ini kini menjadi salah satu perusahaan semikonduktor terbesar di
Taiwan dengan omset $ 300 juta/tahun dan menyerap 2 800 tenaga kerja.
Dengan
iklim yang sehat dan kondusif ini, sekarang Taiwan tidaklah menjadi negara yang
takut kehilangan orang-orang pintarnya. Sebagaimana dilaporkan dalam Financial
Development tahun 1999, hanya kurang dari 10% warga negara Taiwan yang lulus
PhD di tahun 1990 yang tetap tinggal di US sampai tahun 1996. Atau, hampir
sebagian besar mereka kembali ke negaranya. Sejak tahun 1990 ini, Taiwan diakui
sebagai negara yang leading dalam bidang ekonomi dan teknologi informasinya.
Semua berkat reversed brain drain.
Langkah
Taiwan, nampaknya sedang diikuti oleh India saat ini. India juga merupakan
negara yang sangat menderita karena brain drain. Menurut data, di tahun 1996
kurang dari 25 % warga negara India yang kembali ke negaranya setelah selesai
PhD di Amerika tahun 1990-1991. Berarti pada tahun tersebut, sebagian besar
orang-orang terpilih ini memilih tetap tinggal di AS. Prestasi penduduk
Amerika asal India di dream land tersebut memang tidak main-main. Tahun
1970-1990-an SDM India dengan kualitas tinggi brain drain ke USA. Di tahun 1998
profesional asal India menguasai 775 perusahaan teknologi di Silicon Valley
dengan omset $3.6 milyar dan penyediaan 16 600 lapangan kerja.
Akan tetapi, ternyata trend brain drain ini mulai berubah sejak akhir tahun
1999. Sejak awal tahun 2000 sampai kini diperkirakan, terjadi reversed brain
drain besar-besaran ke India. Sekitar 35 000 warga negara India kembali ke
negaranya, baik untuk tinggal permanent ataupun sementara.
Kembalinya
WN India ke negaranya, sebenarnya tak lepas dari kondisi perekonomian di US
sendiri, yang sejak tahun 1999 tidak sekondusif sebelumnya. Kondisi resesi di
US, menyebabkan banyak perusahaan yang menutup perusahaanya dan mem-PHK para
tenaga ahlinya. Kesempatan bekerja dan iming-iming insentif bagi para orang
cerdas ini tidaklah segemerlap sebelumnya. Amerikapun mulai menerapkan
kebijakan outsourcing, khususnya dalam bidang teknologi informasi seperti
penyediaan software. Mereka memesan ke negara-negara seperti Taiwan dan India
yang dipandang punya kemampuan karena lebih murah secara biaya. Para WN India
yang telah mengenyam pendidikan dan pengalaman berprofesi dan berbisnis
menangkap peluang ini. Maka, mereka berlomba pulang ke negaranya, dan menjadi
jembatan penghubung antara para tenaga trampil yang menetap di India dan
jaringan pasar di LN dengan menjadi pengusaha ataupun konsultan di negaranya.
Misalnya
kisah Nagarajan, seorang “braindrainer” alumni Silicon Valley yang kembali ke
India. Tahun 2000 dia mendirikan perusahaan teknologi informasi dengan cuma 20
pekerja. Pada tahun 2004 perusahaannya mempunya 3 600 pekerja dengan laba $ 30
juta. Maka tak heran, jika pemerintah India dengan optimis meramalkan bahwa
lewat kehadiran industri teknologi informasi ini India secara keseluruhan akan
mendapat laba $ 87 milyar dengan omset pasar $ 225 milyar dan akan mampu
menyediakan 2,2 juta lowongan pekerjaan di tahun 2008. Beberapa intelektual
India dengan bangganya menunjukkan beberapa WN Inggris yang saat ini brain
drain ke perusahaan India, karena perusahaan tersebut mampu membayar ahli dari
Inggris tersebut lebih daripada Inggris sendiri.
B. TAWARAN KEBIJAKAN.
Kebijakan
migrasi membentuk pola-pola migrasi, dimana sebagai akibatnya berdampak pada
demografi, budaya, ekonomi dan politik suatu negara. Migrasi juga memiliki
andil terhadap stabilitas populasi atau pertumbuhan masyarakat di suatu
wilayah. Kebijakan pengendalian migrasi merupakan suatu elemen yang krusial
dalam menentukan pola-pola migrasi: dengan melihat besarnya jumlah orang yang
ingin beremigrasi ke negara-negara industri untuk alasan-alasan ekonomi maupun
politik, dan terbatasnya kesempatan untuk melakukannya, maka kebijakan
migrasilah yang utama menentukan ruang lingkup migrasi global (termasuk migrasi
ilegal).
Berdasarkan
penelitian ini, penulis mengajukan 5 langkah penanggulangan brain drain yakni:
penempatan kerja, asistensi kewirausahaan, program visiting professor,
asistensi rekrutmen, dan penumbuhan rasa nasionalisme.
C. MACAM MACAM KEBIJAKAN MIGRASI INTERNASIONAL DI
BEBERAPA NEGARA BERKEMBANG.
A.
Penempatan
Kerja.
Pemerintah di Meksiko, Kuba, dan Taiwan, menerapkan
program penempatan kerja untuk mencegah brain drain. Meksiko misalnya,
pemerintahnya menggunakan anggaran khusus untuk membangun labotarium canggih
sehingga ilmuwan Meksiko mau pulang ke tanah air mereka. Pemerintah Kuba
menyediakan pekerjaan bagi dokter – dokter Kuba yang berada di AS agar mau
pulang ke tanah air. Para dokter ini tidak hanya bekerja di RS ataupun mengajar
di universitas, juga dikirim kembali ke RS luar negeri atas nama pemerintah
Kuba.
B.
Asistensi
Kewirausahaan.
Kredit lunak kepada para ilmuwan untuk mengembangkan industri
juga diperlukan. Pemerintah India memberikan kredit lunak untuk mendorong para
ilmuwan membangun silicon valley tandingan di Banglore. Pemerintah Taiwan juga
memberikan dana kewirausahaan hingga USD 300 ribu untuk menarik para ilmuwan.
Hal ini lebih merangsang perekonomian daripada menerima ekses negative Brain
Drain.
C.
Program
“visiting professor”.
Jika banyak ilmuwan Indonesia di luar negeri,
pemerintah melalui universitas dapat menjalankan program visiting professor.
Para ilmuwan di luar negeri digaji ekuivalen dengan gaji di luar untuk mengajar
dan mengadakan riset di dalam negeri. Hal ini dilakukan oleh pemerintah China,
Iran, dan India sebagai transfer ilmu dan juga proses adaptasi di negara asal.
Bahkan di tahun 2000, pemerintah China berhasil mencapai angka 5,000 ilmuwan
pulang ke tanah air sebagai visiting professor dan hal ini berdampak terhadap
jumlah publikasi dan kemajuan penelitian di China.
D.
Asistensi
Rekrutmen.
Beberapa ilmuwan yang berada di luar negeri tidak
pulang karena masalah ketiadaan pekerjaan di tanah air. Pemerintah harusnya
membantu para kaum intelektual dalam hal rekrutmen. Pemerintah Afsel dan
Malaysia memberikan jaringan lapangan pekerjaan secara online untuk para
ilmuwannya. Di Indonesia, British Council membantu WNI lulusan Inggris untuk
mendapatkan pekerjaan dengan mengadakan Job Fair tahunan. Hal ini haruslah
dicontoh oleh pemerintah Indonesia.
E.
Nasionalisme.
Faktor lain yang harus ditumbuhkembangkan adalah
nasionalisme. Berdasarkan Yuan (1992), nasionalisme adalah faktor terpenting
dalam menarik ilmuwan kembali ke tanah air. Pemerintah Taiwan dan China
menggunakan program keteladanan untuk menarik para ilmuwan. Promosi tentang
pentingnya keberadaan ilmuwan untuk memajukan bangsa menjadi cara untuk
menumbuhkembangkan rasa nasionalisme. Di dalam program keteladanan, para
birokrat dan pemimpin negara memberikan sosok keteladanan yang nantinya akan
menyentuh sense of belonging para ilmuwan di luar negeri.Tidak dapat
dipungkiri, telah banyak studi dilakukan yang mengidentifikasi fenomena brain
drain umumnya terjadi pada negara-negara berkembang. Banyak faktor yang
menginisiasi imigran ahli untk menjadikan suatu negara sebagai pelabuhan ilmu
sekaligus perbaikan kualitas hidup. Misalnya kemenangan Sekutu pada Perang
Dingin dua menjadikan para imigran ahli menimbang ilmu di negara-negara seperti
Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan pada Perang Dingin, kompetisi pengaruh dua
superpower semakin luas dalam menarik banyak pelajar asing untuk belajar ilmu
mereka. Sedangkan berkisar pada tahun 1960-an dan awal 1970-an, migrasi para
ilmuwan, dokter, dan teknisi dari negara berkembang seperti China, India, dan
Korea Selatan ke negara maju semakin meningkat.[5] Hal ini diutamakan karena
negara tujuan memiliki banyak keunggulan dan kesempatan. Fenomena migrasinya
tenaga terdidik dan terlatih tersebut biasa dikenal dengan istilah brain
drain.[6]
D. STRATEGI BHAGWATI DALAM MENGATASI PROBLEM “BRAIN
DRAIN”.
Strategi
yang ditawarkan oleh Bhagwati, ialah melakukan mengatasi dengan migrasi
daripada mencoba untuk membatasinya. Pemerintahan negara berkembang mesti
menerapkan kebijakan yang bisa mengikat migran dengan negara asal mereka
sehingga dapat mengurangi biaya sosial dan meningkatkan keuntungan ekonomis di
negara asalnya. Kebijakan tersebut dapat berupa memasukkan pendidikan anak dan
jaminan hak-hak sipil seperti partisipasi dalam organisasi internal sekolah dan
komite guru dan wali murid di sekolah. Pemerintah juga bisa membantu tempat
tinggal imigran di seluruh negara, untuk menghindari penekanan upah di salah
satu wilayahnya. Contoh operasional bagaimana negara kurang maju menerapkan
kebijakan tersebut, Bhagwati memberikan beberapa contoh negara yang berhasil
seperti India, China, Taiwan dan Korea Selatan. Solusi ketiga, Bhagwati
menawarkan wacana adanya organisasi yang mengelola migrasi dunia, World
Migration Organization yang berperan untuk membenarkan arus masuk dan keluar
migrasi suatu negara, menetapkan kebijakan residensi migran apakah legal atau
sebaliknya yang berfungsi secara ekonomi, politik, baik terhadap tenaga kerja
ahli maupun non-ahli.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Migrasi
internasional yang terjadi saat ini tidak semata-mata akibat globalisasi.
penjelasan berikut membantah teori globalisasi, dan sebagian besar merupakan
pemikiran dari antiglobalis. Globalisasi tidak bisa dikatakan sebagai sebab
utuh migrasi atau arus perpindahan penduduk lintas batas negara. Pada
kenyataannya orang-orang telah hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain sejak berabad-abad lalu karena alasan yang makin beragam, bahkan
sebelum fenomena globalisasi diwacanakan. Misalnya perpindahan pengungsi dari
satu tempat ke tempat yang lebih kondusif tidak memiliki keterkaitan dengan
adanya globalisasi. Pengungsi berpindah begitu saja tanpa menggunakan
transportasi yang accessible, informasi internet, atau kesempatan kerja yang
lebih baik. Aspek penting yang dilihat dalam perpindahan pengungsi ialah persoalan
keamanan untuk lepas dari represi, opresi, penyiksaan dan lainnya. Contoh kedua
ialah, orang berpindah karena ingin menikmati pemandangan alam. Proses
globalisasi tidak mengakibatkan, secara langsung, alam tumbuh indah, maksudnya
keindahan pegunungan Alpen, padang rumput Mediterania, Danau Toba bahkan ada
bahkan sebelum globalisasi muncul. Barangkali penting untuk tidak
mengeneralisasi bahwa proses globalisasi menginisiasi perpindahan penduduk.
Sekiranya penting untuk melihat tipe-tipe migrasi kemudian mengkaitkannya satu
persatu dengan proses globalisasi, sehingga dapat menjawab apakah globalisasi
benar-benar sebagai katalisator arus migrasi.
Kedua, “globalisasi meningkatkan arus migrasi lintas
batas negara”? pernyataan ini patut mendapat sanggahan, seperti yang
diungkapkan oleh Bhagwati (2004) bahwa arus migrasi malahan berkurang seketika
globalisasi makin intensif. Hal ini terjadi karena makin banyak dikeluarkannya
regulasi sebagai counterpart diaspora akibat proses globalisasi.
Terkait dengan “globalisasi dan arus migrasi” terdapat dua pandangan utama: (1)
pendukung globalisasi memegang proposisi bahwa terdapat bentuk baru globalisasi
akibat integrasi global yang memungkinkan terciptanya beragam keuntungan dan
kesempatan ekonomi bagi orang-orang untuk kemudian berpindah ke satu tempat
(Sanchez, 1999), salah satu pendukung globalis yang memberikan penjelasan
bagaimana hal tersebut mungkin terjadi ialah Bhagwati (2004) sedangkan pemikir
anti-globalis.[7]
Tawaran kebijakan yang mungkin ialah perbaikan struktural
yang menjamin keahlian para tenaga ahli yang bekerja di host country
terfasilitasi. Secara khusus kebijakan ini disebut “reversed brain drain” yang
telah diimplementasikan oleh India dalam sektor IT (Information Technology)
yang memicu India sebagai “leading sector” dalam IT.
Lampiran Artikel
BRAIN DRAIN SDM TI YANG TERSIA-SIAKAN
Human
Capital Magazine, Edisi 58 Januari 2009
Fenomena
brain drain SDM TI terjadi di negara-negara berkembang, tak terkecuali di
Indonesia. Bagaimana mengatasinya?
Sydney, Australia, 9 September 2007. Pan Mohamad Faiz,
alumni Delhi Vishwavidyalaya (University of Delhi) yang berprofesi sebagai
peneliti konstitusional di Mahkamah Konstitusi Indonesia menyampaikan
makalahnya berjudul Brain Drain dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi
Analisa terhadap Reversed Brain Drain di India yang disampaikan pada Konferensi
International Pelajar Indonesia (KIPI).
Pada makalah tersebut, Faiz mengidentifikasi fenomena
brain drain yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang. Faiz menguraikan
problematika dan tantangan Indonesia dalam pengembangan SDM terkait dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang disebabkan oleh brain drain. Dan, pada
akhir makalahnya, penulis menyuguhkan pola pengembangan SDM guna mencegah dan
mengatasi efek negatif dari brain drain dengan melakukan studi analisa
terhadap keberhasilan India dalam mewujudkan reversed brain drain
khususnya di sektor TI.
Daftar
Pustaka
Bhagwati,
Jagdish. 2004. International Flow of Humanity, dalam “in Defense of
Globalization”. Chapter 3. London: Oxford University Press., pp. 209-218.
Latin
America in 2010: Migration Policies for Development. OECD.
Migrasi
Tenaga Kerja Dari Indonesia: Gambaran Umum Migrasi TKI di Beberapa Negara
Tujuan di Asia dan Timur Tengah. IOM. 2010.
Theories
of International Immigration Policy – A comparative Analysis. Eytan Meyers.
2000. The Hebrew University of Jerusalem.
Malaysia
at Economic Crossroads as It Fights the Great Brain Drain. 2011. The Guardian.
Malaysian Diaspora Reach One Million in 2010 - World Bank Official.Bernama.
Malaysia's
brain drain getting worse, says World Bank. Malaysian Insider.
Social injustice main cause of country's brain drain. Malaysian Insider.